Wajib tunduk kepada hukum Pemilik kerajaan langit dan bumi

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” [TMQ al-Furqan (25):2].

Ramai daripada kita yang menganggap bahawa manusia berhak mengatur negara yang didiaminya dengan sekehendaknya, seolah-olah negara itu milik mereka. Sedangkan negara yang mereka diami itu adalah bahagian dari bumi milik Allah SWT. Bahkan, bukan hanya bumi, langit dan seluruh alam semesta ini adalah milik Allah SWT. Dialah Raja dan pemiliknya sehingga seluruh isinya wajib tunduk dan patuh kepada-Nya. Dan Allah SWT telah menurunkan hukum yang wajib ditaati oleh seluruh manusia.

Ayat ini menegaskan bahawa kerajaan langit dan bumi adalah milik-Nya. Tidak ada yang menjadi sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan.

Milik Allah

Allah SWT berfirman,

“al-ladzi lahu mulk al-samawati wa al-ardh” (“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi”). Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, kata “al-ladzi” di sini merupakan sifat bagi “al-ladzi” yang pertama, yang disebutkan dalam ayat sebelumnya.

Dalam ayat sebelumnya Allah SWT memuji diri-Nya dengan ungkapan, “tabaraka” (Maha Suci). Lalu disebutkan bahawa Dia Yang Maha Suci itulah yang menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya, yakni al-Quran kepada Rasulullah SAW.

Kemudian ayat ini menyebutkan beberapa sifat Dzat yang telah menurunkan al-Quran tersebut. Sifat pertama yang disebutkan adalah sebagai pemilik “mulk al-samawati wa al-ardh” (kerajaan langit dan bumi). Pengertian sifat ini bermaksud Dia adalah “al-mutasharrif fîha kayfa yasya`” (Sang Pemilik kekuasaan mengatur di dalamnya sebagaimana yang dikehendaki-Nya). Demikian penjelasan Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya.

Menurut Abu Zahrah, “al-mulk bererti al-sulthan” (kekuasaan). Kekuasaan tersebut mutlak milik Allah SWT. Tidak ada kekuasaan selain-Nya. Dialah yang mengurusi langit dan bumi. Bintang tidak boleh berjalan kecuali dengan kekuasaan-Nya. Semua yang ada di langit, baik matahari, bulan, mahupun bintang tunduk dengan perintah-Nya. Begitu juga dengan bumi dan semua yang ada di dalamnya, seperti gunung, laut, dataran tinggi, binatang, hasil bumi dan lain-lain, semua tunduk kepada perintah-Nya.

Wahbah al-Zuhaili juga menjelaskan dalam tafsirnya, “al-Malik al-haqiqi” (Pemilik sebenarnya) semua yang ada di langit dan di bumi adalah Allah SWT. Pengertian al-Malik adalah yang memiliki “al-sulthan al-muthlaq” (kekuasaan mutlak) dalam pengaturan kerajaan-Nya sebagaimana yang Dia mahu. Dia juga yang memiliki kekuatan yang sempurna atas apa yang ada di kerajaan-Nya, baik mengadakan mahupun melenyapkan, menghidupkan dan mematikan, memerintah dan melarang sesuai dengan kebijaksanaan dan kemaslahatan.

Dalam ayat ini disebutkan dua kata yang menunjukkan dengan jelas bahawa pemilik kekuasaan mutlak di alam semesta ini adalah Allah SWT, yakni kata “lahu” (milik-Nya) dan “al-mulku” (kerajaan). Maka, sebagaimana yang dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, ayat ini memberitakan bahawa apa yang ada di dalam langit dan bumi adalah milik-Nya; juga kerajaan keduanya adalah kerajaan-Nya. Dengan demikian, berkumpul pada-Nya dua hal, yakni kepemilikan dan kerajaan.

Oleh kerana kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah SWT, maka yang diberlakukan di dalamnya adalah keputusan dan hukum Allah. Merujuk pada ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari berkata bahawa Dia berfirman: Maka bagi penghuni kerajaan-Nya dan dalam kekuasan-Nya wajib mentaati-Nya dan tidak derhaka terhadap-Nya.

Setelah itu diberitakan sifat yang lain dengan firman-Nya: “walam yattakhidz walad[an]” (dan Dia tidak mempunyai anak). Ini memastikan bahawa tidak ada satu pun yang menduduki kedudukan sebagai anak, baik secara hakiki mahupun majazi. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan Ibnu Katsir, Dia tidak memiliki anak secara mutlak.

Al-Qurthubi menjelaskan bahawa Allah SWT menyucikan diri-Nya dari perkataan kaum musyrik, Yahudi, dan Nasrani beranggapan Allah SWT memiliki anak. Maha Suci Allah dari semua perkataan tersebut. Berkaitan dengan perkataan Yahudi dan Nasrani diberitakan dalam Surah at-Taubah (9) ayat 31. Sedangkan bantahan terhadap kaum Musyrikin yang menuduh Allah SWT memiliki anak-anak perempuan, disebutkan dalam Surah al-Shaffat (37) ayat 149-153.

Oleh kerana itu, barangsiapa menyandarkan anak kepada-Nya, maka sungguh dia telah berdusta dan mengada-adakan pendustaan atas Tuhannya. Demikian penjelasan Ibnu Jarir al-Thabari.

Tidak Ada Sekutu

Selanjutnya disebutkan sifat lain yang menegaskan, “walam yakun lahu syarik fi al-mulk” (dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-[Nya]). Kata syarik merupakan merupakan bentuk sifat dari kata syirkah. Pengertian syirkah adalah sesuatu yang dimiliki oleh dua atau lebih. Ayat ini menafikan adanya selain Allah SWT yang ikut memiliki dan menguasai kerajaan langit dan bumi.

Al-Thabari menerangkan, tidak layak ada sekutu selain Allah SWT dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya sehingga diperbolehkan menyembah selain-Nya. Allah SWT mengingatkan,

Wahai manusia, esakanlah Tuhanmu yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya Muhammad SAW. Bersihkanlah ibadah hanya kepada-Nya dari sesembahan lain, baik patung, malaikat, jin, manusia. Tidak patut beribadah kecuali kepada Allah, Sang Pemilik semua itu.”

Sekiranya terdapat sekutu selain-Nya, nescaya alam semesta ini akan rosak binasa sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Anbiya’ (21) ayat 22.

Kemudian Allah SWT berfirman: “wa khalaqa kulla syay`i” (dan Dia telah menciptakan segala sesuatu). Sifat lain selain Dzat yang menurunkan al-Fuqan adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu. Maka, sebagaimana ditegaskan al-Thabari, segala sesuatu adalah ciptaan dan milik-Nya; dan semua yang dimiliki mesti taat kepada pemilik mereka dan melayani tuan mereka, bukan kepada yang lain.

Lalu disebutkan: “faqaddarahu taqdir[an]” (dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya). Kata qaddara berasal dari kata al-taqdir. Kata tersebut bererti menjadikan sesuatu dengan ukuran tertentu dan aspek tertentu sesuai dengan tuntutan hikmah. Jika dihubungkan dengan Allah SWT, maka al-taqdir bererti menciptakan sesuatu secara sempurna dan terperinci, tidak terjadi penambahan dan pengurangan hingga Allah SWT menghilangkan atau menggantikannya. Demikian menurut al-Asfahani.

Sedangkan Ibnu ‘Athiyah berpendapat bahawa taqdir al-asysya` bererti membatasinya dengan tempat, waktu, ukuran, kemaslahatan, dan kesempurnaannya.

Itulah Dzat yang menurunkan al-Quran untuk manusia. Siapa pun yang mengimani dan memahami ayat ini dengan benar, tidak akan menolak penerapan hukum-hukum al-Quran dalam kehidupan. Masakan tidak, al-Quran diturunkan oleh Pemilik kerajaan langit dan bumi. Atas dasar apa manusia yang tinggal di bumi milik Allah SWT berani menolak perintah Raja dan Pemiliknya? Atas dasar apa manusia berani menolak perintah Dzat yang menciptakan dirinya, semua rezeki yang dinikmati, segala kenikmatan yang diterima, dan semua makhluk di alam semesta? Sungguh hanya manusia yang bodoh sahaja berani melakukannya.

Oleh yang demikian, semua ideologi dan pemikiran yang memberikan kebebasan bagi manusia membuat aturan sendiri seraya mencampakkan hukum Allah SWT seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, dan demokrasi wajib ditolak sebab semua ideologi dan pemikiran itu hanya menjadikan manusia ingkar kepada-Nya.

Wallahua’lam.